JABARMEDIA – Di tengah deru ojek online dan kendaraan pribadi yang mendominasi jalanan Kota Bogor, becak perlahan kehilangan perannya sebagai moda transportasi harian. Dari ribuan unit yang dulu berseliweran di pasar dan gang-gang kecil, kini hanya ratusan yang tersisa. Meski demikian, becak belum benar-benar hilang — perannya justru bergeser.
Kini, becak menemukan “rumah baru” sebagai transportasi wisata dan moda penghubung di kawasan permukiman. Perubahan fungsi ini terjadi bukan hanya karena perkembangan zaman, tetapi juga faktor usia para penarik becak yang sebagian besar sudah lanjut usia dan tidak lagi mampu mengayuh jarak jauh.
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menilai, pergeseran fungsi tersebut merupakan keniscayaan. Dari sisi fisik, para pengayuh becak sudah tidak lagi mampu beroperasi seperti dulu. Sementara dari sisi kebutuhan perjalanan, masyarakat kini lebih memilih moda yang cepat dan efisien.
“Nah, kalau becak yang ada itu disuruh ngayuh lagi juga orang enggak mau. Sekarang tukang becak itu rata-rata usianya sudah di atas 60 tahun. Jadi saya kira, becak-becak itu sekarang untuk wisata saja,” ujar Djoko.
Khusus Lokasi Wisata
Menurut Djoko, ruang gerak becak kini lebih cocok dibatasi pada lokasi-lokasi wisata, ruang publik, dan permukiman padat. Di tempat-tempat seperti itu, becak masih memiliki fungsi yang tidak tergantikan.
“Jadi bisa dibilang peran becak saat ini sebagai transportasi hanya untuk di daerah-daerah wisata atau di perumahan sebagai feeder,” jelasnya.
Djoko mengatakan, nilai budaya dan pengalaman menjadi kekuatan utama becak saat ini. Bukan lagi soal kecepatan atau efisiensi, melainkan karakter khas yang membuat wisatawan maupun warga bisa menikmati perjalanan dalam ritme yang lebih tenang.
Menurut dia, jika ingin bertahan di masa depan, becak perlu beradaptasi dengan bentuk baru tanpa menghilangkan ruh tradisionalnya.
“Kecuali kalau diganti dengan becak listrik. Nah itu beda. Mungkin anak muda juga mau, apalagi becak listrik bisa online. Banyak itu kan, menarik,” kata Djoko.
Daya Tarik Wisata
Ia menambahkan, banyak negara justru menjadikan becak modern sebagai daya tarik wisata. Mulai dari kawasan wisata di Malaysia hingga sudut kota tua di Prancis, becak menjadi bagian dari pengalaman wisata yang dicari pengunjung.
“Tapi untuk wisata cocok lah. Di banyak negara, di Malaysia ada wisata. Di Perancis becak itu untuk wisata juga,” ujarnya.
Djoko menilai, agar becak bisa bertahan sebagai transportasi wisata, bentuk dan tampilannya perlu disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Beberapa negara, katanya, telah melakukan inovasi desain untuk membuat becak lebih aman, menarik, dan ramah wisatawan.
“Tapi perlu modifikasi juga. Kayak di Belanda, becak itu modifikasi pengemudinya di depan. Mau nggak mau harus ngikutin zaman. Bentuknya harus menarik agar bisa menarik perhatian anak-anak juga, jadi pengen mencoba,” kata dia.
Karena itu, modifikasi ringan pada becak tradisional dianggap penting, agar generasi muda tidak melihat becak sebagai moda kuno, tetapi sebagai sesuatu yang unik dan layak dicoba saat berkunjung ke sebuah kota.
Becak kian sulit bertahan
Karsun (62), seorang tukang becak yang masih setia mengayuh sejak era 1980-an, mengaku kondisinya kini jauh berbeda dibanding masa kejayaannya dulu.
“Dulu walaupun tarikan murah, bisa 10 liter (beras) sehari, malah lebih. Karena belum ada saingan kayak ojol atau motor,” tuturnya mengenang.
Kini, penumpang semakin jarang. Anak muda enggan naik karena dianggap ketinggalan zaman, sementara warga yang lebih tua pun mulai jarang menggunakan karena lebih banyak pilihan transportasi lain.
“Kalau Sabtu Minggu alun-alun ramai tapi enggak pada naik becak. Anak muda sudah gengsi naik becak,” kata Karsun.
Bahkan untuk memenuhi kebutuhan harian, Karsun kerap berutang ke warung ketika tak mendapat penumpang hingga sore.
“Kadang sampai jam 16.00 nggak ada penumpang sama sekali. Kalau (kondisinya) gitu, paling utang ke warung,” ucapnya.
Si Raja Jalanan
Dulu, kata dia, becak adalah raja jalanan. Para pedagang, ibu-ibu pasar, dan pelajar berebut naik becak setiap pagi. Kini, ia hanya mengandalkan penumpang sesekali, kadang ibu-ibu pasar, kadang orang tua yang sudah tak sanggup berjalan jauh.
Rutenya tidak menentu. Ia bangun pagi, duduk di becaknya, lalu menunggu keberuntungan menghampiri.
“Kadang jam 12.00 siang, kadang sore, jam 16.00 atau 17.00. Kadang dari subuh juga. Tergantung penumpang. Sekarang mah nggak jauh-jauh, bebas ke mana saja,” kata dia.
Penumpang harian beralih, becak masih punya peran khusus
Meski tidak lagi ramai digunakan untuk mobilitas harian, sejumlah warga tetap menilai becak masih memiliki fungsi penting untuk kebutuhan tertentu, terutama di pasar dan permukiman padat.
Asri (56), misalnya, mengandalkan becak hampir setiap hari untuk mengangkut belanjaan dari pasar ke rumahnya.
“Kalau ke pasar pasti saya naik becak. Soalnya jaraknya dekat, cuma kalau jalan kaki berat banget bawa sayur-sayur,” ujarnya.
Bagi Asri, becak lebih praktis dibanding transportasi lain karena bisa langsung masuk ke gang kecil, dan penarik becaknya bersedia membantu mengangkat barang.
“Kelebihannya itu ya praktis. Enggak perlu nunggu. Terus bisa masuk sampai ke gang depan rumah saya,” kata dia.
Meski demikian, ia menyadari profesi tukang becak kini semakin tergerus oleh perkembangan zaman.
“Rasanya aneh kalau tiba-tiba hilang. Kalau bisa jangan dihilangkan. Kalau mau diatur, ya atur saja rutenya. Tapi jangan sampai abang-abangnya kehilangan mata pencaharian,” tambahnya.
Becak dinilai cocok untuk wisata, bukan jalan utama
Bagi generasi muda, becak dinilai sudah tidak cocok lagi beroperasi di jalan besar. Menurut Isan (25), becak masih relevan jika ditempatkan di lokasi yang tepat.
“Menurut saya masih, tapi memang bukan untuk dipakai di jalan besar. Becak itu lebih cocok untuk kawasan wisata dan perkampungan. Di area kayak itu, justru becak punya fungsi yang nggak bisa diganti transportasi lain,” ujarnya.
Isan melihat potensi becak sebagai daya tarik wisata yang menawarkan pengalaman santai dan bernuansa tradisional.
“Soalnya kalau di tempat wisata, orang biasanya cari yang bisa santai. Naik becak itu ada nuansa tradisionalnya, lebih pelan, dan bisa menikmati suasana. Banyak turis juga lebih suka transportasi yang unik begitu,” ujar dia.
Memiliki Nilai Khas
Ia menilai, becak memiliki nilai khas yang tidak dimiliki moda transportasi lain, terutama bagi wisatawan yang ingin menikmati suasana kota dengan ritme yang lebih lambat.
Karenanya, Isan mendukung penataan becak agar memiliki wilayah operasi yang jelas, bukan dihilangkan.
“Saya setuju dibatasi kalau di jalan utama, tapi jangan dihilangkan dari kampung dan tempat wisata. Justru di tempat-tempat itu becak paling berguna,” katanya.







