Hal itu ditegaskan Konsultan Humas PT EGI Dadan Hendaya kepada wartawan, Jumat (24/5/2013).
“Komitmen kami terhadap Pemkot maupun warga Kota Bandung secara keseluruhan adalah, melakukan penataan yang memadukan RTH dengan sedikit bangunan komersial. Harus tidak mengurangi sifat, jenis, karakteristik, kriteria dan fungsi Baksil sebagai RTH,” jelas Konsultan Humas PT EGI, Dadan Hendaya.
Menurutnya, PT EGI hanya memanfaatkan sebagian ruang kawasan Babakan Siliwangi dan wajib memenuhi kewajiban hukum sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang.
“Itu berarti, kami tak bisa sewenang-wenang melakukan penataan, apalagi sampai mengubah, mengurangi dan mengalihkan fungsi sebagai RTH,” terangnya.
Dalam tataran praksis, lanjut Dadan, taman-taman yang ada di Kota Bandung masuk dalam kategori ruang terbuka hijau kawasan perkotaan (RTHKP). Sejalan dengan Permendagri No. 1/2007 tentang RTHKP.
Dadan mencontohkan Taman Lalu-lintas dan Kebon Binatang Bandung (KBB). Keduanya merupakan RTH yang didominasi oleh tumbuhan dan tanaman, namun tetap tersedia bangunan pendukung, seperti kantor, restoran, mushola, toilet, jalan berbatu dan lain sebagainya.
“Tak ada yang lantas menyimpulkan kedua taman itu melanggar UU, hanya karena ada bangunan fisik di tengah-tengahnya. Karena batasannya begitu jelas, yakni bangunan yang ada tak boleh menjadikan RTH berubah fungsi. Karenanya, luas, bentuk dan fungsi bangunan, diatur sedemikian rupa agar hanya bersifat mendukung terhadap tanaman dan pepohonan yang ada di kawasan itu,” paparnya.
Dadan menjelaskan, kajian AMDAL adalah salah satu parameter yang terukur bahwa pembangunan di Baksil tidak mengalihfungsikan RTH.
“Kajian itu telah kita penuhi sesuai dengan aturan yang dipersyaratkan, bahwa keberadaan restoran di Baksil. hanya akan memakan ruang seluas 1.100 meter persegi di bekas tapak lama restoran yang terbakar, tak mengalihfungsikan RTH, ” jelasnya.
(avi/ern)
sumber+foto:detik.com